It’s fine having imperfections and struggling to overcome them
Photo by Holger Link on Unsplash
Mungkin… Salah satu ketakutan terbesar kita… adalah mengakui ketidaksempurnaan diri kita sendiri. Gimana bisa enggak? Sedari kecil kita — mungkin terutama orang-orang seusiaku — dibesarkan di lingkungan yang menuntut kita harus bisa segalanya, enggak boleh “cacat”. Kita harus bisa dapet nilai bagus di mata pelajaran, masa depan harus udah tertata dari jenjang Taman Kanak-kanak (TK) sampai kuliah.
Anak harus jadi pinter, baik, bersih, penurut, penyayang orang tua, penyayang saudara, daaaaannn berbagai bentuk “ideal” anak lainnya.
Sehingga ketika kita tahu kita punya kekurangan, bisa jadi kita denial, atau bisa jadi kita stress, enggak bisa menerima fakta kalo kita ini “kurang”. Kekurangan dari segi fisik yang langsung nampak atau kekurangan dari segi pikiran, attitude, mental, yang enggak kasat mata.
Padahal kita sama-sama tahu, bahwa manusia dan ketidaksempurnaan itu satu set yang enggak bisa dipisahkan. Siapapun itu, pasti punya kekurangannya masing-masing, mulai dari orang biasa sampai orang terkaya di dunia, pasti punya kekurangannya masing-masing. Dan itu enggak masalah, sama sekali alias enggak papa.
Malahan mencoba jadi sempurna tanpa kekurangan sedikitpun justru malah hal yang sia-sia.
Coba bayangin, bahkan sampe sekarang Lionel Messi sama Cristiano Ronaldo yang disebut sebagai pemain bola terbaik dunia aja belum pernah tuh ngangkat piala FIFA World Cup. Mereka enggak diperdebatkan lagi, memang dua pemain terbaik dunia, segala titel udah ada di lemari rumahnya, tapi ya toh sampe sekarang belum pernah bisa juara FIFA.
Aku sendiri juga punya kekurangan, secara fisik/yang tampak, aku punya pectus carinatum (kalo enggak tau Googling ya hahaha), pernah jatuh sampe siku kananku dislokasi dan enggak sepenuhnya sembuh sampe sekarang, punya dua lutut yang ligamennya lemah, terus juga ankle, bahu, dan pergelangan tangan yang punya riwayat cidera, pendek, tidak ganteng, dan masih banyak lagi lainnya. Itu baru yang tampak… Belum yang tidak tampak… Pasti kalo diitung juga lebih banyak lagi… kaya keras kepala, maunya menang sendiri, bermulut pedas, dan banyak lah pokoknya.
Tapi…
Fakta bahwa bersama kekurangan-kekuranganku, aku diberikan lebih banyak kenikmatan, enggak bisa didebat juga.
Moment of riya’
Karena dengan badan yang serba kurang tadi toh sampe sekarang aku masih bisa jaga kondisi tubuh yang ideal, aku masih bisa olahraga tiap hari, dengan lower body yang rawan cidera aku juga udah naik turun beberapa gunung bahkan aku ada gunung yang aku udah naik-turuni 4 kali masing-masing (Andong dan Ungaran), aku juga udah lulus tes pelatih muda untuk pencak silat perguruanku dan jadi lulusan terbaik di angkatan itu. Banyaaaaak bangeeet…
End of moment of riya’
Kalo diinget-inget lagi juga kekuranganku lah yang ngebikin perjalanan hidupku sampe sekarang menjadi menyenangkan. Kekurangan-kekuranganku juga ngasih aku kesempatan buat belajar dan berbenah, nginget-inget gimana perkembanganku dari aku yang versi dulu dan aku yang sekarang itu juga memuaskan. Wow I grew a lot! I’m so proud of my self.
Ya, I am so proud of myself. I don’t have any reason to be sad, I don’t have time to be sad, despite these imperfections.
Kalo hidup diibaratkan game, game yang terlalu gampang itu bukan game yang bagus. Kekurangan-kekurangan kita mengisi “kegampangan” tadi supaya game kita masing-masing jadi lebih asyik. (Kan?)
Jadi untuk menutup secuil cerita hari ini…
Aku tahu kok kalo aku, kamu, dia, dan mereka punya kekurangan, kita punya kekurangan, tapi coba deh diinget-inget lagi, dengan berbagai kekurangan yang kamu punya, kamu juga pasti udah mencapai berbagai hal dalam hidup. Jadi marilah mulai mencintai kekurangan kita masing-masing dan memberi waktu untuk memperbaiki kekurangan kita.
Have a nice day!