Selagi masih muda, masih sendiri…
Photo by Precondo CA on Unsplash
“You reap what you sow.
Kamu memanen apa yang kamu tanam.”
Hidup kita sekarang ini bisa dikatakan bibit untuk hidup kita di masa depan. Gimana bibit ini nanti tumbuh berkembang sampe akhirnya kita panen, bergantung pada apa yang lakukan di masa sekarang ini. Meluangkan sedikit waktu, tenaga, pikiran, dan bahkan mungkin harta untuk investasi di masa depan, menurutku adalah sesuatu yang pantas.
“investasi”
/in·ves·ta·si/ /invéstasi/
penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keun-tungan
Selagi kita masih muda, masih punya banyak waktu buat berkembang, belajar, meniti karir, salah satu hal yang perlu kita pay attention at adalah investasi.
Investasi menurut pandanganku bukan melulu tentang investasi berupa uang, instrumen investasi, dan tetek bengek lainnya. Investasi menurutku mencakup banyak hal diantaranya kesehatan, pengalaman, ilmu, dan juga finansial itu sendiri sih.
Mengingat bahwa aku bukan seorang ahli investasi dan finansial, tentunya cerita ini enggak akan menyinggung tentang strategi investasi keuangan, instrumen apa yang harus dipilih, karena lebih banyak sumber di luaran sana yang lebih kredibel untuk membahas ini. Kapasitasku, hanyalah bercerita tentang pandanganku, tentunya kamu punya pandangan sendiri juga.
Karena, memangnya saya siapaa~
Investasi kesehatan
Salah satu investasi yang aku lakukan setelah mulai kerja dan aku merasa aku punya cukup dana untuk disisihkan adalah investasi kesehatan. Seringkali orang-orang yang udah mulai enak hidupnya mulai mengesampingkan kondisi kesehatannya, akhirnya mulai menumpuk kebiasaan buruk (ingat aku tidak bilang lemak jahat, tapi kebiasaan buruk) dengan enggak berolahraga, makan enggak teratur, mengutamakan makan enak dibandingkan menjaga pola makan dan sebagainya.
Sejujurnya, mungkin aku enggak terlalu khawatir, untuk orang yang banyak tingkah kaya aku, insyaAllaah aku masih punya waktu cari keringat untuk bakar kalori. Tapi tentu saja, kegiatanku enggak sebanyak ketika masih kuliah ataupun sekolah dulu, dulu masih bisa ikut berbagai macam kegiatan luar ruangan, ikut aktivitas olahraga kaya futsal, sepak bola, pencak silat, makanya aku harus cari cara lain untuk membakar kalori di badan ini. Meskipun kalo aku bilang ini ke temenku, kebanyakan mereka akan nyolot, badan kurus kaya gitu apa lagi yang mau dibakar?! Hahaha.
Jadi aku memutuskan untuk beli beberapa alat olahraga yang menurutku bisa aku pake sewaktu-waktu, dumbbell 5kg an dua biji, tali skipping, sepatu untuk lari-lari yang lebih nyaman, dan sepeda karena salah satu bentuk latihan buat lutut biar ligamennya bisa recover. Beberapa masih bisa dilakukan karena enggak perlu keluar-luar, tapi untuk sepatu dan sepeda akhir-akhir ini enggak bisa dipake olahraga sering-sering karena ada wabah ini dan sebelumnya juga musim hujan, jadi yaaa… begitulah.
Aku juga menginvestasikan uang ke pasang kawat gigi, ini cukup lucu buatku karena dulunya aku agak anti dengan kawat gigi. Satu mubaligh — mungkin di tempat lain dibilang ustadz — bilang kawat gigi itu enggak boleh, pendapat yang lainnya boleh karena enggak mengubah bentuk gigi, ada juga yang menyampaikan selama alasannya enggak cuma sekadar buat gegayaan boleh. Setelah dilema yang cukup panjang dan mencari tahu di lebih banyak sumber, akhirnya aku memutuskan buat pasang kawat gigi.
Mahal? Yaa bisa dibilang mahal, apalagi untuk ukuran aku yang enggak dikasih sangu tambahan sejak mulai kerja. Sakit? Banget, gilak aku enggak bisa makan selama dua minggu dan meskipun udah mulai bisa makan dengan lancar aku harus berurusan dengan sliliden (makanan yang nyempil).
Hal ini aku putuskan buat lakukan selain karena aku pengen ketika dewasa juga punya gigi yang lebih enak dipandang karena jujur punya gigi yang berantakan itu bikin enggak pede (ada yang maju, ada yang mundur, ada yang offside, hands ball, sliding tackle, macem-macem), juga karena ketika di SMK dulu ada salah satu kepala jurusan yang meninggal karena masalah infeksi mulut. Aku tahu kalo mulut yang kotor (literally kotor, bukan omongannya yang kotor) bisa jadi sumber penyakit, tapi aku enggak tahu kalo bisa jadi sumber penyakit yang seserius itu. Ngeri…
Karena mulut kayak jadi jembatan antara dunia luar dan organ tubuh kita, terhubung ke sistem saraf, pembuluh darah, dan pencernaan, jadi kalo enggak hati-hati dan enggak merawat mulut bisa jadi gerbang masuk buat bakteri dan virus ke tubuh kita. Whew… Then I decided, I think I should go for bracket for a better mouth health.
Ngomongin soal mulut dan gigi, aku juga mulai ngebenerin pola makan ku, mulai beli buah-buahan, mengurangi makan makanan instan dan junk food, (udah berniat) lebih sering makan sayur meskipun masih dalam tahap niatan.
Syukurnya, sejak perkara kawat gigi, makan buah (dan semoga sayur), kurangi makan junk food, badan juga lebih enak, metabolisme lebih lancar, jerawat juga rasanya berkurang untuk muncul, dan yaa karena lebih bisa ngasih nutrisi ke badan (meskipun enggak harus mahal) aku merasa pengendalian diri dan emosiku juga lebih baik. Memang perut itu bisa jadi sumber kebahagiaan kalo kita treat dengan bener.
Investasi ilmu dan pengalaman
Investasi kedua selain badan yang sehat, yaa pikiran yang sehat. Ketika kita masih punya sedikit ilmu, kita cenderung sombong ngerasa tau segalanya. Inget ngerasa tau dan tau itu udah beda banget, ketika kita engga punya ilmu kita enggak punya banyak opsi untuk memandang dan menyelesaikan masalah yang akhirnya kita berujung ke punya pikiran yang sempit, ceroboh, asal, bebal, mudah dipengaruhi, akhirnya kita bisa jadi bidak buat kepentingan orang lain.
“Punyailah ilmu yang banyak, bukumu bisa hilang, hartamu bisa lenyap, tapi ilmu dan pengalaman adalah hal yang menjadi milikmu selamanya. Karena ilmu itu ada di dalam hati.”
Memperbanyak ilmu enggak sama dengan belajar secara formal maupun informal di berbagai tempat selama bertahun-tahun, belajar secara formal maupun informal memang menambah sertifikat bukti kamu pernah belajar, bukan berarti kamu memang mendapatkan ilmunya. Belajar bisa dari siapa saja, lewat media apa aja, dengan cara bagaimana saja, bisa dengan ngobrol, melihat, mendengarkan orang lain, membaca, nonton video di YouTube, belajar itu sangat enggak terbatas.
Salah satu caraku investasi terkait ilmu adalah menganggarkan uang bulanan untuk beli buku, aku sadar betul aku ini enggak pinter, aku masih banyak bodohnya, makanya kalo aku enggak pengen bodoh, aku harus baca. Buku yang saat ini aku suka masih terkait buku-buku self help, tapi aku tetep baca buku-buku ringan kaya novel untuk selingan bacaan. Mau self help, mau non fiksi, mau scifi, mau novel, ada banyak yang bisa dipelajari kok.
Tapi…
Enggak perlu punya koleksi buku yang banyak, buku bisa pinjam atau pake kindle, enggak perlu kelihatan udah banyak baca buku dan cerita, kata bapak ilmu itu setelah dipelajari harus diamalkan, enggak perlu berlomba-lomba cepet-cepetan nyelesaiin buku, setiap orang punya kecepatannya masing-masing untuk belajar, yang penting selalu belajar.
Aku juga masih suka untuk sesekali ngobrol dengan orang yang lebih tua supaya bisa dapat pengalaman mereka dan ngobrol dengan yang lebih muda supaya dapet kesegaran dan kegilaan ide mereka. Tentunya enggak sembarang orang, yang kira-kira aku nyaman ajak ngobrol, kalo enggak gitu bukannya belajar aku malah bisa-bisa baku hantam.
Bisa juga dengan ikut online course, seminar maupun webinar, ikut berbagai kegiatan positif di luar (meskipun sekarang enggak bisa, tapi anggaplah idealnya bisa), ketemu orang-orang baru, kepala-kepala dan isi kepala yang berbeda bisa membuat wawasan kita terbuka. Tapi perlu diingat, ketika bertemu orang-orang yang berbeda, kesampingkan segala urusan latar belakang, agama, ras, bahasa (eh ini penting, tapi kan udah ada google translate, oke enggak begitu penting), jadi kita bisa menerima pengalaman dan ilmu baru dengan senang hati.
Karena dengan keadaan apapun, kalo kita punya ilmunya, aku yakin kita bisa overcome the situation. Aku kemarin secara random baca webtun dimana salah satu tokohnya yang bilang “aku ini pernah kaya, enggak mungkin jadi miskin” yang kemudian dia melakukan suatu strategi bisnis dan di panel itu dia ngejelasin kenapa dia bisa pede ngomong gitu (baca iMarried S2 Ch. 36). Meskipun itu enggak real life, aku yakin ada orang yang emang kaya gitu di dunia nyata, orang yang udah pernah kaya dari nol, ndelalah tersandung suatu hal, tapi bisa bangkit lagi. Orang-orang kaya gitu, bisa gitu, karena mereka punya ilmunya, mereka punya pengalamannya, yang mereka lakukan buat overcome kebangkrutan tadi ya dengan implementasi ulang ilmu yang udah mereka dapet bertahun-tahun lamanya.
Makanya itu ilmu dan pengalaman juga jadi salah satu hal yang patut dijadikan investasi buat diri kita. Suatu saat kita akan butuh dan saat kita butuh dia bakal berguna banget buat kita.
Lastly, investasi keuangan
Nah last but not least, investasi yang sangat erat dengan kata investasi itu sendiri. Investasi keuangan, seperti yang aku bilang di awal tadi, aku disini bukan orang yang ahli urusan kaya gini. Aku juga bukan orang yang punya aset investasi yang melimpah, bukan orang yang berasal dari keluarga yang paham investasi. Jadi aku di sini enggak akan bahas kaya strategi investasi, carilah sumber yang lebih kredibel kawanku.
Tapi gini… Biasanya anak muda (aku masih muda ya, aku masih muda) biasanya setelah punya pemasukan sendiri (dan cukup untuk memenuhi kebutuhannya) biasanya gampang terlena. Akhirnya kita punya momen untuk memiliki semua barang-barang yang kita mau, iPhone, Macbook, PS5, Xbox, langganan Netflix, langganan ini itu. Ketahuilah kawanku… mungkin kamu enggak butuh semua itu, mungkin semua yang sudah menjadi milikmu sekarang udah cukup untuk memenuhi kebutuhanmu, coba evaluasi lagi apakah itu memang kebutuhan atau cuma keinginan aja.
Kalo emang kamu butuh itu untuk menopang kebutuhanmu atau bisa membantumu mendapatkan value yang lebih, it’s fine, misalnya aku juga beli Macbook untuk kebutuhanku kerja. Alasannya sederhana, macbook itu bakoh, dia UNIX environment (lebih kebal virus), mudah digunakan untuk hal-hal ngoding. Tapi aku sampe sekarang enggak beli iPhone, yaa selain harganya emang mahal sih, tapi kebutuhanku lebih terpenuhi dengan Xiaomi Mi A2 lite, dia dual sim card, kebutuhan dasarku untuk sebuah handphone juga udah terpenuhi, aku juga lebih familiar dengan android.
Tapi kalo kamu beli barang-barang karena kamu pengen, terus kemudian barang itu juga enggak sering dipake atau mungkin enggak memberi manfaat buat kamu dapet value yang lebih, mungkin kamu perlu pikirkan lagi, apa bener kamu perlu barang itu? Beli barang baru berarti kamu harus menyediakan space baru, waktu, tenaga buat ngerawat barang itu. Kalo kita berbagi space sama orang di kamar kita mah bisa kita minta dia suruh bayar, barang enggak bayarin kita guys, kita yang bayarin mereka. Hhhh…
Terus… menurutku untuk beberapa hal, kamu enggak perlu beli barang baru, terutama barang-barang elektronik. Banyak kok sekarang orang yang jual second tapi kondisinya masih bagus dan harganya bisa jadi jauh lebih murah dibanding harga barunya, barang-barang itu pada akhirnya akan habis usianya (rusak) atau mungkin kita jual lagi ke orang lain atau opsi ketiga dikoleksi. Memang sih beli baru itu lebih meyakinkan, apalagi ada jaminan garansi, tapi kalo dipikir-pikir, dari sekian banyaknya barangmu… berapa yang pernah kamu pake garansinya?
Daripada uang yang kamu pake buat beli barang tadi, masih banyak hal yang bisa kamu lakukan supaya uang itu value nya enggak berkurang justru bisa berkembang. Lakukan investasi, sekarang ini investasi udah terjangkau banget, enggak perlu banyak effort, mereka para startup penyedia layanan investasi yang datang ke ponsel kita. Instrumen investasi juga bermacam-macam, kaya saham, reksadana, ataupun emas. Tinggal tap tap tap, transfer, beres deh.
Kita juga perlu punya pos-pos pengeluaran untuk uang kita, supaya uang itu enggak jadi benda ghaib era ini, masak baru aja gajian, tiba-tiba wus wus wus uang menghilang. Temenku pernah cerita, kalo temennya kerja di suatu bank, gajinya gede, tapi katanya dia enggak pernah punya tabungan, padahal dia enggak ngekos, wew ini aneh…
Kalo mengutip kata Ronnie Coleman “everybody wants to be a bodybuilder but nobody wants to lift no heavy-ass weight”. Oke jangan kamu debat dengan “emang siapa yang mau jadi body builder?!”, bukan itu konteksnya, saudaraku. Sepanjang yang aku temui, semua orang pengen punya financial freedom, tapi belum semuanya mempraktikan what it takes to get a f-word financial freedom.
Kurang-kurangi lah cicilan-cicilan barang yang enggak perlu, kurangi lah gaya hidup selangit ketika tau pemasukanmu hanya setinggi tiang gawang futsal, kurangilah berutang (sebisa mungkin).
Tahan aja sebentar untuk makan makanan enak, tahan sebentar untuk foya-foya, tahan sebentar untuk beli barang-barang yang cuma kita pengen, simpan itu jadi sesuatu yang bisa berkembang di masa sekarang, jadi besok kita bisa manfaatin dengan value yang lebih besar.
Jadi selagi masih muda… selagi masih sendiri (yang sendiri)… selagi masih punya banyak waktu… be wise, do investment.
Have a good day! Ciao!
Let me know what your opinion!
Ah iya, jangan lupa untuk sedekah. Hartamu itu harta yang kamu sedekahkan, harta yang kamu simpan sekarang ini adalah rejeki untuk orang lain yang belum kamu salurkan. Anyway, sedekah itu juga enggak akan mengurangi rejekimu kok. Jangan pelit buat sedekah, ok?