Tentang sebuah realisasi
Dua minggu ini saya baru saja kehilangan beberapa anggota keluarga saya, 3 dari 5 kucing saya meninggal dunia dalam waktu yang berdekatan. Mulai dari Hana, anaknya Milo yang aktif ceria menggemaskan; Kopi kucing abu-abu yang saya rawat dengan penuh roller coaster; dan terkahir Mino, alias Milo Junior, anaknya Milo yang mirip sekali sama Milo.
Dari ketiganya yang jelas kami tau penyebabnya cuma Mino, yaitu Panleukopenia. Tapi dari situ kami juga sudah bertanya ke dokter hewan bahwa bisa jadi dua kucing sebelumnya meninggal karena penyakit yang sama juga.
Sedih? Jelas saja. Semua terasa begitu cepat, kucing kucing yang di hari sebelumnya ceria, tiba-tiba sorenya jadi malas makan, muntah-muntah, dan akhirnya berpulang. Kecuali Kopi, alhamdulillaah Kopi meninggal dalam kondisi tidak muntah-muntah, tidak mencret-mencret, tiba-tiba saya di WA Ibu saya kalo ada kucing meninggal di kebun samping rumah. Dan yaa betul, itulah Kopi. Berbaring di bawah pohon-pohon kecil, sudah tidak bernyawa lagi.
Terakhir ya Mino, kami sampai merawatinapkan Mino di vet dekat rumah, awalnya saya agak dilema, kasian kalo Mino ditinggal di sana, enggak ada temennya, tapi di rumah kami juga tidak punya peralatan yang memadai untuk merawat Mino yang terkena panleu. Akhirnya dengan berat hati saya menitipkan Mino ke vet, dan yaa ndelalah takdir berkata bahwa Mino tidak mampu bertahan, semakin hari kondisinya semakin turun, hingga pada akhirnya saya ngobrol sama dokternya terkait kondisi Mino dan apakah memungkinkan untuk dibawa pulang saja apabila memang tidak tertolong.
Singkat cerita Mino kami bawa pulang, Mino terlihat sangat takut sekali sepanjang perjalanan pulang. Tidak tenang, meronta-ronta, kesana-kemari dalam kondisi badannya yang sudah enggak ada tenaganya, mengeong-ngeong ketakutan dengan mata yang tidak fokus. Memang sudah tidak sadarkan diri sih ya. Sesampainya di rumah saya dan adik menyiapkan penghangat, kandang, dsb, tapi Mino masih saja terlihat panik, rewel, ingin keluar. Di momen itulah saya merasa agak bersalah meninggalkan Mino di vet sendirian.
Mino masih saja panik sampai saya selesai sholat ashar, kemudian saya terpikir untuk membacakan Yasin pada Mino, btw untuk yang belum tau salah satu keutamaan Yasin adalah untuk memudahkan orang meninggal jika memang sudah dalam kondisi tidak tertolong. Mino yang daritadi panik, rewel, ketika saya bacakan Yasin menjadi tenang, sangat tenang, napasnya memang yaa begitulah sudah tidak baik, tapi sudah tidak meronta-ronta. Kemudian… di sinilah keajaibannya datang dan firasat saya juga mengatakan demikian, selesai saya membacakan Yasin, beberapa detik kemudian badan Mino agak gemetar dan akhirnya menghembuskan napas terakhirnya. What a peaceful moment.
Kemudian saya beresi kamar saya, cabut infus dari Mino, dan meminta Habbib mulai menyiapkan lubang. Mino saat itu juga saya kuburkan bersama di dekat kuburan Hana, Milo, dan Kopi.
Tentu saja dengan kepergian keluarga yang saya rawat dari kecil tadi membuat saya sedih, kadang saya juga masih kangen terutama dengan Kopi. Tapi, saya tidak akan menyalahkan Panleukopenia sebagai “si jahat” yang telah merenggut keluarga saya. It is what it is, memang beginilah suratan takdirnya, jika Allaah memang minta makhluknya kembali, ya kembali. Kita sebagai manusia enggak bisa apa-apa
Sebanyak apapun harta kita, bagaimanapun usaha kita, kita ini makhluk yang lemah dan kecil kok.
Tapi saya juga cukup… apa ya? Bukan bahagia? Lega? Karena sekarang saya bisa mengusahakan semaksimal saya untuk merawat kucing saya yang sakit. Saya tidak lagi hanya bisa menangisi kucing saya yang kondisinya sedang sakit berharap tiba-tiba kucing saya besoknya sembuh, saya bisa membawa kucing saya ke vet, mengusahakan makanan yang bergizi, mengusahakan perawatan yang baik, pengobatan yang maksimal. Sisanya ya serahkan aja lah ke Allah.
Begitu kecilnya kita ya…